BPD: Benteng Demokrasi Desa yang Terancam Mandul.
Oleh: Tim Investigasi Redaksi
Halmahera Selatan – Di balik semarak pembangunan desa yang digaungkan dalam setiap pidato pejabat pemerintah, tersimpan satu ironi yang tak banyak dibahas secara terbuka: lemahnya fungsi kontrol di tingkat desa yang seharusnya dijalankan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Banyak BPD kehilangan nyali, bahkan kehilangan identitas, hingga menjelma menjadi lembaga formalitas yang sekadar menyetujui kebijakan kepala desa tanpa perlawanan kritis.
Padahal secara yuridis, keberadaan BPD adalah pilar demokrasi desa. Bukan figuran dalam tata kelola pemerintahan desa, melainkan aktor utama dalam menjaga agar desa tidak terjerumus dalam praktek kekuasaan yang korup, diskriminatif, dan sewenang-wenang.
Landasan Yuridis: Bukan Sekadar Hiasan
BPD bukanlah lembaga tanpa taring. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebut secara eksplisit keberadaan BPD sebagai salah satu elemen dalam sistem pemerintahan desa. Bahkan, Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 memberikan rincian fungsi, hak, dan kewenangan yang seharusnya menjadikan BPD sebagai institusi representatif rakyat desa yang tangguh.
Tiga fungsi utama BPD menurut Pasal 31 Permendagri 110/2016 adalah:
-
Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa (Perdes) bersama Kepala Desa.
-
Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa.
-
Melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa.
Ketiga fungsi ini, jika dijalankan secara maksimal, akan menjadikan BPD sebagai “legislatif mini” yang bisa mencegah kepala desa bertindak semaunya. Namun sayangnya, banyak BPD justru tak memahami peran tersebut atau malah memilih diam demi ‘hubungan baik’ dengan kepala desa.
Kasus di Lapangan: Ketika BPD Tak Lagi Bersuara
Hasil investigasi kami di sejumlah desa di Halmahera Selatan mengungkap kenyataan pahit. Dari 12 desa yang kami datangi, hanya dua BPD yang menjalankan fungsinya secara aktif dan independen. Sisanya terjebak dalam relasi kuasa yang timpang—antara loyalitas personal, tekanan sosial, dan minimnya kapasitas kelembagaan.
Desa Kukupang: Aspirasi Mati di Meja Rapat
Di Desa Kukupang, Kecamatan Kepulauan Joronga, seorang anggota BPD mengaku bahwa mereka tidak pernah sekalipun diminta untuk membahas rancangan peraturan desa.
“Selama tiga tahun saya duduk di BPD, kami hanya diundang dua kali rapat. Itu pun bukan membahas Perdes, tapi sekadar mendengarkan laporan Kepala Desa. Kami seperti pendengar pasif,” ujarnya, enggan disebutkan namanya karena takut dikucilkan.
Lebih parah, ketika masyarakat melaporkan soal ketidakjelasan pengelolaan Dana Desa tahun 2023, BPD tidak menindaklanjuti laporan tersebut.
“Kami tidak punya wewenang,” ujar Ketua BPD setempat, padahal regulasi jelas menyebutkan bahwa BPD memiliki hak untuk melakukan pengawasan langsung atas pelaksanaan kegiatan desa.
Ironi ini membuka fakta bahwa lemahnya kapasitas pemahaman hukum dan regulasi turut memandulkan fungsi BPD.
Desa Dolik: BPD Dijadikan Alat Legitimasi
Berbeda dengan Kukupang, di Desa Dolik, Kecamatan Gane Barat, BPD justru menjadi alat legitimasi kebijakan kepala desa. Setiap kebijakan, termasuk pengadaan proyek, disetujui tanpa kajian atau pertimbangan.
“Kami hanya tanda tangan, karena kepala desa bilang semua sudah sesuai. Kami tidak pernah melihat dokumen perencanaannya,” kata salah satu anggota BPD yang telah menjabat sejak 2021.
Fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan menjadi formalitas belaka. Bahkan ketika ditemukan kejanggalan dalam pembangunan jalan rabat beton, BPD tidak mengambil langkah apapun.
Anatomi Kelemahan BPD: Bukan Hanya Soal Individu
Mengapa BPD di banyak desa tidak berfungsi sebagaimana mestinya? Jawabannya bukan semata-mata karena oknum. Masalahnya sistemik:
-
Minimnya Pelatihan dan Pendidikan Politik Desa
Banyak anggota BPD yang diangkat karena kedekatan personal dengan tokoh desa, bukan karena kapasitas atau komitmen terhadap kontrol sosial. Setelah terpilih, mereka tidak pernah mendapat pelatihan tentang tugas dan tanggung jawab mereka. -
Tekanan Sosial dan Kultural
Di banyak desa, budaya patronase dan feodalisme lokal masih kuat. Mengkritik kepala desa dianggap sebagai tindakan durhaka atau pemecah belah. Akibatnya, anggota BPD cenderung memilih diam untuk menjaga harmoni sosial semu. -
Ketiadaan Anggaran Operasional Mandiri
Fungsi pengawasan dan aspirasi tidak akan berjalan tanpa dukungan anggaran. Di sebagian besar desa, BPD tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk melakukan konsultasi hukum, turun lapangan, atau menyelenggarakan forum warga. -
Manipulasi Kepala Desa terhadap Mekanisme Musyawarah
Banyak kepala desa yang secara sengaja membatasi ruang BPD untuk bertemu masyarakat. Musyawarah desa dikendalikan sedemikian rupa agar tidak membuka celah kritik terhadap kebijakan pemerintahan desa.
Solusi: Reformasi BPD adalah Keniscayaan
Untuk membalik keadaan ini, BPD harus direformasi secara struktural dan kultural. Beberapa rekomendasi yang mendesak untuk dilakukan antara lain:
-
Pelatihan dan Sertifikasi bagi Calon Anggota BPD
Pemerintah daerah bersama Kementerian Desa harus menerapkan sistem pelatihan dan sertifikasi wajib bagi calon anggota BPD, agar mereka memiliki pemahaman utuh terhadap regulasi dan tanggung jawab jabatan mereka. -
Penguatan Anggaran BPD secara Mandiri
BPD harus diberi alokasi dana operasional khusus yang tidak tergantung pada persetujuan kepala desa. Ini penting untuk menjaga independensi fungsi pengawasan. -
Audit Kinerja BPD Secara Berkala oleh Inspektorat Daerah
Tidak hanya kepala desa yang perlu diawasi, BPD pun harus dievaluasi kinerjanya agar tidak terjadi pembiaran terhadap lembaga yang pasif dan tidak berfungsi. -
Peningkatan Partisipasi Masyarakat melalui Forum Aspirasi Terbuka
BPD wajib memfasilitasi forum warga setidaknya dua kali dalam setahun, sebagaimana amanat Permendagri. Forum ini harus didokumentasikan dan dilaporkan ke pemerintah kabupaten.
Penutup: Demokrasi Desa yang Terabaikan
Desa adalah miniatur demokrasi bangsa. Jika di desa saja pengawasan terhadap kekuasaan tumpul, maka demokrasi nasional hanya akan jadi slogan belaka.
BPD seharusnya menjadi penjaga akuntabilitas kekuasaan desa, bukan sekadar pelengkap. Keberanian bersuara, sikap kritis terhadap penyimpangan, dan keberpihakan pada rakyat adalah inti dari mandat konstitusional mereka.
Sudah saatnya BPD bangkit dari tidur panjang. Karena ketika BPD diam, maka yang bersuara adalah ketidakadilan, ketimpangan, dan korupsi yang terus bertumbuh dalam senyap.