BREAK NEWS

Jurnalisme Copy-Paste Membungkam Kebenaran, Salah Fakta Tanpa Dasar: Membongkar Eksploitasi Seksual di Balik Kasus SM di Halmahera Selatan.


HalSel, MataCamera.ComSebuah kasus dugaan eksploitasi seksual anak kembali mencoreng wajah keadilan di Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Seorang korban berinisial SM diduga telah menjadi objek eksploitasi seksual oleh 16 orang pria dalam kurun waktu dua tahun, sejak 2022 hingga 2024. Kasus ini baru mencuat setelah dilakukan investigasi langsung di lapangan oleh tim Jurnalis Pencari Fakta, pada Senin, 7 April 2025.

Namun yang lebih mencemaskan dari substansi kasus ini adalah bagaimana sejumlah media lokal menanganinya: asal comot informasi tanpa konfirmasi, bahkan cenderung sekadar copy-paste. Di tengah isu yang begitu sensitif, sebagian jurnalis justru memilih jalur pintas, tanpa menyentuh fakta lapangan atau menggali keterangan dari sumber yang berwenang. Fenomena ini dengan gamblang memperlihatkan wajah wartawan bodrex - istilah populer bagi mereka yang hanya mengejar sensasi, bukan kebenaran jurnalistik.

Investigasi lapangan yang dilakukan secara independen berhasil menggali sejumlah temuan penting. Berdasarkan pengakuan korban dan keterangan para saksi, tidak terdapat unsur pemaksaan atau tekanan psikologis langsung dari para pelaku. Namun, hubungan yang bersifat transaksional antara korban dan pelaku justru menjadi akar masalah utama.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (Klik Sumber) tentang Perlindungan Anak, meski korban menyatakan tidak ada paksaan, hubungan seksual yang terjadi tetap tergolong eksploitasi seksual anak. Hal ini dikarenakan korban belum memiliki kapasitas hukum untuk memberikan persetujuan sah atas aktivitas seksual tersebut. Dengan demikian, setiap bentuk transaksi seksual terhadap anak, terlepas dari ada tidaknya pemaksaan, adalah pelanggaran serius terhadap hukum dan hak anak.

Dalam penelusuran lebih lanjut, ditemukan fakta bahwa korban sempat hamil pada tahun 2024. Kehamilan tersebut kemudian digugurkan atas tekanan situasional dari pihak keluarga korban, menyusul pertanyaan dari salah satu istri pelaku. Informasi ini dikonfirmasi oleh saksi yang hadir saat percakapan antara orang tua korban dan pihak istri pelaku berlangsung. Fakta ini menambah dimensi baru dalam penyelidikan, karena menunjukkan dampak lanjutan dari eksploitasi yang dialami korban.

Sebelum kasus ini terungkap ke publik, sejumlah masyarakat di Halmahera Selatan sudah beberapa kali memberikan teguran kepada korban. Namun, sayangnya, peringatan tersebut tidak diindahkan. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini telah lama menjadi bisik-bisik lingkungan yang dibiarkan tanpa intervensi serius, baik oleh tokoh masyarakat, aparat desa, maupun pihak sekolah jika korban masih berstatus pelajar saat itu.

Kini, desakan publik mulai menguat agar aparat penegak hukum (APH) menanggapi kasus ini dengan lebih serius dan tidak hanya menunggu viralitas. Kasus ini bukan sekadar persoalan moral, tetapi juga menyangkut penegakan hukum yang adil dan tegas. Banyak pihak mengingatkan agar APH tidak terjebak pada narasi bahwa tidak adanya paksaan berarti tidak ada pelanggaran.

Penanganan hukum harus mengacu pada fakta lapangan dan unsur hukum pelecehan seksual yang berlaku. Jangan sampai kasus ini tenggelam oleh framing media yang tidak akurat atau sikap masa bodoh dari penegak hukum.

Kasus ini juga menjadi pengingat penting bagi masyarakat dan aparat hukum tentang perbedaan krusial antara kekerasan seksual dan hubungan yang tampak konsensual namun memiliki unsur eksploitasi. Dalam hukum perlindungan anak, tidak ada istilah "persetujuan seksual" yang sah diberikan oleh anak di bawah umur relasi yang tampak sukarela tetap harus dinilai dalam konteks ketimpangan kekuasaan dan kerentanan sosial.

Tragedi ini bukan hanya tentang SM atau 16 pelaku yang disebut terlibat, melainkan tentang sistem yang gagal melindungi anak-anak dari jerat eksploitasi. Ini juga tentang tanggung jawab media untuk memberitakan secara jujur, tajam, dan berimbang bukan hanya mengejar klik, tapi juga mengedukasi publik.

Jika media gagal menjadi mata dan telinga masyarakat, siapa lagi yang akan menjaga nilai kebenaran? Jangan biarkan berita penting seperti ini dikubur oleh kebisingan narasi dangkal.

Tim Pengkaji Fakta

Latest News
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Post a Comment