Pulau Obi di Ambang Krisis: Di Balik Kejayaan Nikel Harita Group, Rakyat dan Alam Menjerit
Kepulauan Obi / MALUT / MataCamera.Com – Di balik gemerlap keberhasilan industri nikel yang digembar-gemborkan pemerintah sebagai motor hilirisasi nasional, ada jeritan panjang dari Pulau Obi, Maluku Utara. Sejak ekspansi besar-besaran PT Harita Group melalui anak-anak perusahaannya seperti PT Trimegah Bangun Persada (TBP), PT Gane Permai Sentosa, dan PT Halmahera Persada Lygend, pulau kecil ini berubah menjadi kawasan industri ekstraktif yang menyisakan luka ekologis dan sosial yang dalam.
2018 - 2021: Dimulainya Krisis
Ekspansi besar dimulai sekitar tahun 2018, saat Harita Group menggandeng Zhejiang Lygend Investment Co. Ltd dari Tiongkok untuk membangun fasilitas pengolahan nikel berteknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) di Desa Kawasi. Proyek senilai Rp21,5 triliun ini mengklaim sebagai langkah menuju energi hijau, namun realitas di lapangan jauh dari narasi yang disuguhkan.
Dalam investigasi lapangan yang dipublikasikan oleh Ekuatorial pada Februari 2022, warga terutama perempuan di Desa Kawasi melaporkan kehilangan lahan, sumber air bersih, dan bahkan ruang hidup mereka. “Kami dibuat mati perlahan-lahan,” ungkap seorang ibu rumah tangga dalam laporan tersebut.
Lingkungan Terkoyak
Penelitian dari Universitas Khairun Ternate pada 2021 mengungkapkan bahwa setidaknya 12 jenis biota laut di perairan Obi terkontaminasi logam berat. Pencemaran diduga berasal dari pembuangan limbah tailing ke laut oleh fasilitas pengolahan milik Harita Group. Air laut yang dulu bening kini berubah menjadi cokelat keruh. Hutan mangrove, benteng alami pesisir, banyak yang rusak akibat kegiatan reklamasi dan penimbunan.
Bahkan pada Januari 2022, warga Desa Kawasi melaporkan bahwa air sumur mereka mengandung lumpur dan berbau logam. Udara pun dipenuhi debu dari aktivitas tambang. Anak-anak mengalami gangguan pernapasan, dan nelayan mulai kehilangan hasil tangkapan.
Perampasan Lahan dan Kekerasan Struktural
Di balik setiap ton nikel yang diolah, ada cerita pahit warga yang digusur. Tanpa konsultasi yang bermakna, lahan pertanian dan hutan adat warga diambil alih untuk jalan tambang, dermaga, dan pabrik. Banyak warga tak lagi memiliki akses ke ladang mereka sendiri.
Menurut laporan Ekuatorial dan Malut Kaidah, beberapa warga yang mencoba menolak atau mempertanyakan proses ini justru mendapat intimidasi. Pada Maret 2022, unjuk rasa yang dilakukan Front Perjuangan Rakyat Obi (FPRO) dan Jaringan Komunitas Soccer (JOKER) di Ternate mendapat pengamanan ketat. “Harita dan seluruh anak perusahaannya harus angkat kaki dari Pulau Obi,” teriak para demonstran.
Bantahan Perusahaan
PT Harita Group secara resmi membantah tudingan ini. Dalam pernyataan yang dirilis oleh Antara News pada Mei 2023, mereka menegaskan bahwa seluruh operasi mengikuti kaidah teknik pertambangan yang baik sesuai Kepmen ESDM No. 1827 Tahun 2018. Perusahaan juga mengklaim menerapkan teknologi “dry stack” dalam pengelolaan limbah untuk meminimalkan risiko pencemaran.
Namun, warga tetap bertanya: Jika semua dilakukan sesuai prosedur, mengapa laut kami mati? Mengapa anak-anak kami batuk setiap hari? Mengapa tanah kami tak bisa lagi ditanami?
Simbol Krisis Nasional
Kisah Harita Group di Pulau Obi bukan sekadar isu lokal. Ia mencerminkan wajah hilirisasi yang mengorbankan ruang hidup demi investasi. Dalam lanskap kebijakan nasional, proyek ini dielu-elukan sebagai bagian dari transformasi ekonomi, namun bagi warga Obi, ini adalah awal dari kehilangan besar atas tanah, air, udara, dan martabat.
Pulau Obi kini menjadi simbol paradoks Indonesia: negara yang ingin “hijau” tapi menanggalkan prinsip keadilan ekologis. Di antara cerobong pabrik dan pelabuhan tambang, suara warga makin sayup, terkubur dalam tumpukan tailing dan janji-janji pembangunan.
Redaksi NARASI